Administrator,LiSHAM
Bergulirnya reformasi tahun 1998 terus memberikan angin perubahan bagi keindonesiaan bangsa ini. dengan segala eforia-nya, reformasi juga menjanjikan harapan besar atas nasib bangsa yang kehilangan kepercayaan diri setelah lengsernya orde baru bagi sebagian orang dan sebaliknya menjadi masa pencerahan bagi sebahagian yang lainya.
sebut saja sukiman yang asli TURKI (baca Turunan kidul = maksudnya Pemalang selatan), dengan berlatar belakang pendidikan yang ngepres dan minim alias SD aja tidak lulus, dia memberanikan diri bersaing dengan jutaan orang mengadu nasib di Jakarta.parahnya lagi sukiman tidak memiliki modal skill yang bisa diandalkan apalagi pengalaman kerja yang bisa menjadi referensi dalam daftar riwayat hidup ketika melamar pekerjaan.
wong saiki sing susah tambah susah" gerutunya, pantas saja kata-kata itu yang selalu menjadi wiridan sukiman ketika melihat para pejabat negara kita menyampaikan laporan peningkatan tarap hidup apalagi ketika berbicara bahwa, angka pengangguran menurun.sukiman merasa menjadi orang yang paling tersakiti perasaanya,pasalnya dia merasa bahwa saat ini kondisi ekonominya sangat stabil susah dan cenderung meningkat kesengsaraanya.
luih enak jamane pak harto, gumamnya. betul saja, saat itu semua kebutuhan hidup dapat terpenuhi. rakyat kecil seperti dia tidak dipusingkan dengan kelangkaan sembako, atau fluktuasi harga minyak dan TDL yang kerap kali terjadi.Fenomena politik juga tidak terlalu merepotkan dia yang selalu konsisten berperan sebagai wong bodo. yah pokoke enak lah..., rakyat kue yen ana sega gari keprok (mau yang praktis-praktis aja)harapnya.
Fenomena sukiman merupakan representasi kecil dari segelintir rakyat indonesia yang tidak merasakan enaknya menu reformasi yang saat ini terjadi. keberlangsungan reformasi saat itu terlalu mengagetkan, bukan hanya bagi sukiman tetapi seluruh bangsa yang ternyata belum siap dan cukup bekal. reformasi bagaikan terbangun dari mimpi indah, dan masuk alam nyata yang menyesakkan. kalo boleh asal tebak ala sukiman, mungkin hanya 2-3 dari 10 orang yang memilih reformasi.
hal ini bukanya tidak berdasar, dulu rakyat merasa aman kemanapun mereka pergi. jalan-jalan ke mall tanpa kehawatiran akan adanya aksi terorisme, pun demikian ketika mereka berbisnis, tidak ada kehawatiran akan dirampok apalagi menggunakan senjata laras panjang yang saat dulu tidak mudah ditemukan. wis angger kaya kue balik maning waring carane pak harto, yah mungkin itu ekspresi seorang sukiman yang lagi-lagi terbentur dan terkooptis dalam bingkai yang selalu saja tidak menguntungkan dia.
Benar saja, kenyataannya salah satu masalah yang masih harus dibenahi dan diperbaiki adalah sektor keamanan Negara (Kamnas) yang termasuk di dalamnya bidang intelijen Negara yang berfungsi sebagai lini pertama pertahanan negara sekaligus sebagai alat peringatan serta deteksi dini (early warning and detection) menghadapi ancaman keamanan negara dari terorisme ataupun rongrongan pihak-pihak yang menghendaki terganggunya NKRI.
Sayangnya keberadaan lembaga dan penyelenggara intelijen negara ini ternyata masih belum mapan kalau tidak ingin dikatakan tidak bisa berbuat apa-apa. reformasi era itu, menjadikan lembaga ini seakan tercerabut sampai keakar-akarnya sehingga tidak bisa melakukan action keluar. Landasan hukum yang sepadan dengan kedudukan strategisnya belum bisa diwujudkan karena selalu mengalami jegalan atas nama demokrasi dan hak azasi manusia.imbasnya,pengembangan dan pemberdayaan fungsi dan peran intelijen belum dapat berjalan sebagaimana yang seharusnya.
Konsekuensinya adalah bahwa lembaga dan komunitas intelijen di dalam wacana dan praktik penyeleggaraan negara, pada era paska Reformasi, acapkali disikapi dengan "benci tapi rindu" dan bahkan sering secara a-priori disebut sebagai sesuatu yang "jelek namun niscaya" (the necessary evil)(AS Hikam).
Lemahnya informasi inteljen bisa dimaklumi karena belum adanya payung hukum.oleh karena itu, insiatif DPR-RI,untuk membentuk dan menetapkan UU Intelijen Negara bersama Pemerintah dalam tahun 2010 ini merupakan sebuah keniscayaan yang harus disambut semua pihak serta seluruh pemangku kepentingan sektor keamanan di negeri ini untuk menjadikan indonesia lebih baik.
jelas saja, banyak prokontra dalam mensikapi dibuatnya undang-undang inteljens ini. terlebih para aktivis hak azasi manusia yang terlanjur menganggap bahwa lahirnya undang-undang ini akan merampas hak-hak sipil dan demokrasi di indonesia.
Justru, idealnya sebuah negara demokratik idealnya memiliki beberapa lembaga intelijen yang diberi kewenangan dan ruang gerak yang lebih luas. Selain itu, out put dari kinerja aparat inteljen selaian harus mampu memberikan analisis terhadap intensitas ancaman kemanan dan kriminal, harus juga selalu mempertimbangkan parameter-parameter HAM sebagi nilai universal. Jika tidak, maka kinerja intelijen selain akan mengundang kecaman internasional, aparat intelijen nantinnya akan menjadi bulan-bulanan gerakan Hak Azasi Manusia internasional.
Untuk itu operasi inteljen harus didasarkan kepada standar-standar Internasional agar operasi inteljen terhindar dari tudingan pelanggaran HAM.Mengadopsi sedikitnya enam prinsip yang harus dipenuhi pemerintah ketika wewenang khusus lembaga intelijen diterapkan, khususnya dalam konteks upaya kontra terorisme. Pertama, segala upaya kontra terorisme negara harus menghormati HAM dan suprermasi hukum serta menghindari segala bentuk tindakan diskriminatif atau rasis. Kedua, segala tindakan kontra terorisme harus didasarkan pada hukum dan suatu tindakan yang membatasi pemenuhan HAM harus didefinisikan sejelas mungkin dan proporsional dengan tujuan yang akan dicapai. Ketiga, penggunaan metode penyiksaan atau perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan tidak boleh dilakukan dalam situasi apa pun, khususnya ketika penangkapan, interogasi, maupun penahanan seorang tersangka atau tertuduh teroris. Keempat, tindakan pengumpulan informasi dalam konteks upaya kontra terorisme hanya dapat melanggar ruang pribadi individual hanya bila tindakan itu sudah diatur oleh hukum dalam negeri, proporsional dengan maksud yang dituju dari tindakan tersebut, dan dapat diawasi oleh lembaga eksternal independen. Kelima, segala tindakan kontra terorisme harus direncanakan dan dikendalikan oleh pihak yang berwenang untuk menghindari penggunaan kekerasan seminimal mungkin. Penggunaan senjata oleh pihak yang berwenang harus dilakukan dengan batasan yang ketat dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Keenam, dalam kondisi apa pun negara tidak diperkenankan melakukan pelanggaran terhadap hak untuk hidup, larangan melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, prinsip legalitas pernyataan dan tindakan, dan larangan pemberlakukan efek retrospektif hukum pidana
Untuk memenuhi semua standard minimum yang menjadi kode etik penggunaan wewenang-wewenang khusus lembaga intelijen, Indonesia membutuhkan UU Intelijen yang mengatur tidak hanya koordinasi antar lembaga intelijen, tetapi juga fungsi dan ruang lingkup lembaga-lembaga intelijen, organisasi, kewenangan, dan struktur lembaga intelijen, dan yang terpenting adalah mekanisme pengawasan intelijen.
Beberapa permasalahan yang cukup menonjol dan menjadi silang pendapat dan perdebatan antara lain adalah: 1) masalah pembedaan (diferensiasi) peran dan fungsi intelijen, mencakup intelijen dalam negeri, luar negeri, pertahanan,penegakan hukum, kementerian dan seterusnya; 2) masalah lingkup wewenang BIN dan Kepala BIN sebagai Koordinator komunitas intelijen di Indonesia; 3) masalah pengawasan terhadap BIN dan komunitas intelijen; 4) masalah kewenangan khusus BIN menyangkut penyadapan, penangkapan, dan pemeriksaan khusus; dan 5) masalah pemberdayaan komunitas dan lembaga intelijen negara. Di antara kelima masalah tersebut maka poin ke 4 adalah yang paling tinggi tingkat kontroversinya, disusul poin ke 3, ke 2, dan 1. Poin ke 5, sejatinya tidak kontroversial sama sekali dan bahkan menjadi usulan dari banyak pihak agar menjadi bagian dari UU Intelijen karena usulan yang ada baik dari komunitas intelijen maupun dari DPR masih belum terakomodasi dengan baik(AS Hikam).
Dalam menyikapi berbagai masalah di atas, hendaknya kita sebagai anak bangsa yang s edang berupaya memperkuat kelembagaan demokrasi (democratic institutional empowerment) juga menempatkan intelijen sebagai salah satu unsur yang strategis di dalamya. Sebab dengan dibuat dan disahkannya UU ini akan semakin memperjelas kedudukan, fungsi, peran, dan tugas-tugas penyelenggara intelijen yang selama ini hanya diatur dengan Keppres dan/atauInpres saja. Yang terakhir misalnya adalah Kepres No. 103/2001 dan Inpres No.5/2002) yang masih terlampau umum dan singkat dalam menempatkan penyelenggara intelijen di bawah kontrol sipil. tentu saja, kita semua berharap akan adanya perbaikan sistem dari bangsa ini, khususnya kembalinya rasa aman didalam masyarakat sebagaimana harapan seorang sukiman warga TURKI Pemalang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar