Lisham

Kamis, 23 September 2010

PEMILUKADA PEMALANG; Sejumlah Ketua Partai Kecil Geruduk Yugo Center

Ditulis oleh Administrator LiSHAM Sumber Radar Pemalang  
Wednesday, 22 September 2010
PEMALANG - Sejumlah ketua partai-partai kecil pengusung pasangan balon bupati Yugo Dwi Jaya – Sri Hartati, Rabu (22/9) sekitar pukul 14.00 mendatangi Kantor Sekretariat Yugo Center di Sirandu. Mereka menuntut hak, yaitu kewajibannya memberikan dana untuk pembelian tiket pendaftaran di KPU dalam pencalonannya di Pemilukada yang hingga kini belum juga terselesaikan.
Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Pemalang Achamd Saleh mengatakan, pihaknya bersama sejumlah ketua partai pengusung pasangan calon bupati Yugo Dwi Jaya-Sri Hartati sekarang ini mendatangi kantor Sekretariat Yugo Center untuk meminta penyelesaian terkait persoalan kewajiban calon bupati. Yakni, memberikan dananya kepada partai sebagai bentuk penyelesaian tiket untuk bisa mendaftarkan diri di KPU dalam pencalonan di Pemilukada Pemalang. 

“Sampai sekarang belum ada penyelesaian kewajiban kepada partai-partai pengusung,” katanya.
Menurut dia, desakan kepada calon bupati Yugo Dwi Jaya bersama sejumlah ketua partai lain yang jumlahnya ada 17 partai kecil, terdiri dua partai parlemen  yaitu Partai Gerindra dan Hanura serta partai non parlemen di antaranya PKNU, DPP, PPRN, PPD, PNI dan lainnya, karena telah dijanjikan oleh Timnya akan segera menyelesaikannya. Namun sampai saat ini belum juga diselesaikan. 

“Kami sendiri tidak ingin dikatakan diam karena dianggap telah menerima uang. Padahal partai kami oleh calon juga kewajibannya belum diselesaikan. Makanya kami secepatnya bergerak untuk minta penyelesaian kewajiban tersebut,” ujarnya seraya menyebutkan kewajiban yang harus diselesaikan calon bupati itu besarnya untuk tiap partai antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. 

Untuk mendapatkan kejelasan terkait persoalan tersebut, Calon Bupati Yugo Dwi Jaya ketika dihubungi oleh Radar, HP-nya tidak aktif. Sementara sumber Tim Pemenangan Pasangan Calon Bupati   Yugo-Sri Hartati memberikan keterangan, bahwa kejelasan untuk pencairan dana guna penyelesaian kewajiban kepada partai-partai pengusung, baru diiyakan oleh Tim saja.  Padahal belum ada koordinasi dengan pihak juragan (calon bupati Yugo-red) sehingga belum bisa dipastikan akan ada penyelesaian soal itu.
“Yang menjajikan akan menyelesaikan itu baru Tim bukan juragannya, sehingga belum ada kepastian, karena masih dikordinasikan kepada yang bersangkutan,” kata salah satu anggota Tim tersebut.
DISELESAIKAN 

Desakan sejumlah ketua partai pengusung Yugo-Sri Hartati yang terus dilakukan, akhirnya mendapatkan angin segar. Pasalnya penyelesaian kewajiban yakni pencairan dana untuk tiket kendaraan partai dalam pencalonannya akan segera dicairkan dan tinggal menunggu proses pencairannya. 

Menurut sejumlah perwakilan dari partai kecil pengusung calon bupati Yugo-Sri Hartati, diantaranya Toupah dari PPRN,  Anggoro Barnas, Siswoyo PPD, Suyono PNI Marhen dan Ruyadi PMB pencairan dana untuk memenuhi kewajiban kepada partai pengusung akan segera diselesaikan dan sekarang ini juga sedang diproses. Meskipun saat itu mereka mengakui belum menerimanya, namun karena dana tersebut akan segera dicairkan, maka pihaknya sangat yakin kewajibannya akan diselesaikan.  (mg1)

Rabu, 22 September 2010

Pesantren di pemalang mulai bahas kurikulum

Aksi perampokan yang terjadi baru-baru ini di Medan, merupakan strategi baru teroris  untuk menggalang dana bagi pembiayaan gerakan mereka. Untuk melakukan jihad versi teroris ini, bisa dengan cara apapun, termasuk merampok, dan melakukan bom bunuh diri.  Jihad dan terorisme ini adalah hal yang berbeda oleh  karena itu harus segera diluruskan terutama dalam mengartikan makna jihad.
Jihad = Terorisme?

Pelaku terorisme selalu mengklaim dan diklaim sebagai aktivis Islam. Bahkan, tindakan mereka didasari keyakinan akan kemuliaan jihad, yang salah dipahami dari Alqur’an dan Alhadits. Namun, tindakan tersebut dilarang dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Di dalam Islam, nyawa dan darah seorang dilarang dihilangkan tanpa alasan syar’i, baik muslim maupun non muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya pada saat haji Wada’ dengan sejelas-jelasnya ketika bersabda, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kamu adalah haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini, dalam bulan kamu ini, di negeri kamu ini.”( HR. al-Bukhari: 67 dan Muslim: 1679).
Nyawa seseorang dapat dihilangkan, jika pelaku zina yang sudah beristeri (muhshan) dan pembunuh bila belum dimaafkan para wali korbannya serta orang yang murtad dari agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda, ” “Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan –yang berhak disembah– selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah kecuali karena salah satu dari tiga hal: pelaku zina yang sudah beristeri, melayangkan nyawa (membunuh) dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah.”( HR. al-Bukhari: 6878 dan Muslim: 1676)

Kedua hadits di atas sangat gamblang menjelaskan, bahwa membunuh manusia, atau menghilangkan nyawa seseorang, tanpa ketiga alasan di atas adalah haram. Jika haram, maka pelakunya akan berdosa. Ini berbanding terbalik, atas klaim pelaku terorisme, bahwa tindakan mereka adalah jihad. Jika, mati dirinya syuhada, dan masuk surga.
Anggapan atau klaim tersebut, sangat bertolak belakang dengan nash-nash syar’i, baik dalam Al Qur’an dan Hadits. Klaim mereka, hanyalah sebuah legitimasi semu, demi membenarkan tindakan, ataupun pemahaman mereka, yang justru menyimpang dari ajaran Islam. Akhirnya, pemahaman yang salah , menimbulkan mudharat, baik bagi pelakunya, serta umat dan ajaran Islam.

Islam Jadi Sasaran

Menurut pakar terorisme, Dr. Anies Baswedan, bahwa dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chicago Project for Suicide Terrorisme yang mengkaji titik-titik kejadian teror di seluruh dunia mulai tahun 1980 hingga 2004, jumlahnya cukup banyak. Lebih mengherankan lagi, papar Rektor Universitas Paramadina ini, ternyata pelaku terorisme lebih banyak dari orang non Islam, dibanding orang Islam. Apabila, bila dirunut sejarah kebelakang, dari 1947 kebelakang, pelaku terorisme
dari umat Islam sangat minim. Bahkan, nyaris tidak ada.
Namun, Islam terlanjur dituduh sebagai ajaran yang mengajarkan kekerasan, radikalisme, yang berujung dengan aksi terorisme. Tuduhan tersebut bermula pada peledakan Gedung WTC 11 September 2001. Saat itu, entah bisikan darimana, serta skenario siapa, sang Presiden AS kala itu, George W. Bush, langsung penuduh Osama bin Laden (pejuang Afganistan) sebagai pelakunya.
Sejak itu, George W. Bush menyatakan perang melawan terorisme, tapi sayang seribu sayang, terorisme yang ada dalam otak Bush adalah para pejuang Islam. Akhirnya, Bush dibantu para sekutunya, menyerang Afganistan yang diyakini sebagai tempat persembunyian Osama secara membabi buta.
Penyerangan AS beserta sekutunya, secara membabi buta, dengan melanggar etika peperangan, serta HAM justru memunculkan ghirah semangat perlawanan dan balas dendam dari para pejuang Islam, yang salah memahami konsep jihad dalam ajaran Islam, di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.
Perlawanan mereka juga, sama membabi butanya dengan AS. Mereka melakukan teror, dengan melakukan pengeboman di daerah bukan perang, sebutlah Bom Kuningan sebagai contoh. Sejak itu, khusus di Indonesia, stigmatisasi mulai dibangun, Islam diidentikkan dengan terorisme.
Alasannya sangat sederhana, para pelaku terorisme identik dengan simbol-simbol keIslaman.
Islampun sebagai sebuah agama, menjadi tersangka, menjadi sasaran empuk atas berbagai pihak, yang memang tidak suka dengan kebangkitan Islam. Apalagi, sejak reformasi di Indonesia, euforia kebangkitan Islam mulai terasa setelah sekian lama terkungkung di era orde baru.
Islam sebagai sebuah ajaran dengan konsep Rahmatan Lil Alaminnya, yang menyelamatkan, mengasihi, tidak hanya manusia sebagai makhluk mulia. Tapi juga semua, makhluk yang ada di dunia ini. Islam dituduh sebagai agama kekerasan, dengan sebuah konsep jihad dalam ajarannya. Aktivitas keIslaman dicurigai, dakwah Islam di matai-matai.
Puncaknya, ketika pemerintah mencoba mengawasi kurikulum pesantren Islam. Tidak sampai di situ, ada sebuah upaya mengubah kurikulum, terutama mereduksi makna Jihad dalam kurikulum sekolah. Bagi pemerintah, pengajaran konsep Jihad menjadi biang kerok terhadap munculnya radikalisme dalam memahami agama, sebagai cikal bakal dari tindakan terorisme.
Upaya ini terus menuai kecaman dan perlawanan, baik dari para pengelola pesantren, maupun ulama yang konsisten dengan ajaran Islam. Pasalnya, menghilangkan atau mereduksi konsep jihad dalam Islam, berarti meragukan kebenaran ajaran Islam, serta menuduh sang manusia mulia yang diciptakan oleh Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam sebagai manusia yang mengajarkan kekerasan, dan pembunuhan. Tuduhan tersebut sangat kejam, serta tidak mendasar. Justru sebaliknya, Rasulullah adalah manusia penyelamat, penunjuk sebuah jalan keselamatan, baik di dunia hingga hari kiamat sebagai tujuan akhir dan kekal nan abadi bagi umat manusia.
Jadi, menghilangkan konsep jihad dari ajaran Islam, adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir oleh siapapun. Sebaliknya, konsep jihad yang sebenarnya, berdasarkan Al Qur’an dan Assunnah, harus diajarkan sejak dini di sekolah. Tujuannya, agar konsep yang mulia dari ajaran Islam ini, tidak disalah artikan, dalam sebuah perbuatan yang melanggar ajaran Islam, seperti perbuatan terorisme.

Jihad dalam Islam
Dalam Islam perbuatan terorisme, tidak pernah ditolerir, siapapun pelakunya, serta apapun motifnya. Berbeda dengan Jihad yang sangat diagungkan dalam Islam. Jihad menurut Islam memiliki beberapa bentuk. Ada Jihadun Nafs (jihad melawan hawa nafsu), seperti; Berjihad untuk mempelajari ilmu dan mengamalkannya, serta bersabar dalam menghadapi berbagai macam ujian hidup. Ada juga Jihaadus Syaithaan (Jihad melawan Syaithan), yang terdiri dari: berjihad membentengi diri dari syubhat, dan keraguan, yang dapat merusak iman. Dan ada juga Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin (Jihad melawan kaum kuffar dan munafiq). Jihad jenis ini memiliki beberapa tingkatan, yaitu: Jihad dengan hati, lisan, harta, dan jiwa.
Khusus Jihad dengan perang melawan orang-orang kafir, dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. At-Taubah: 73].
Yang patut dipahami dari perintah ini adalah bahwa berperang dengan senjata melawan kaum kuffar dan munafiq tidaklah dilakukan secara serampangan, namun memiliki syarat yang telah diatur oleh Islam, yakni; adanya seorang imam (pemimpin), ada daulah (negara), dan adanya bendera Jihad. Kecuali kalau umat Islam diserang terlebih dahulu, maka wajib atas mereka membela diri. Bahkan, kaum muslimin yang lain pun wajib membantu perjuangan saudaranya di tempat terjadinya serangan.
Begitulah, Islam sebagai ajaran sempurna sangat jelas menguraikan tentang Jihad. Terutama, jihad yang berarti peperangan. Hal ini, telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam. Dalam Jihad, Rasulullah telah memberikan contoh, dengan berperang yang tetap mengedepankan etika, misalnya; dalam perang dilarang membunuh wanita dan anak, serta binatang dan tumbuhan, dilarang membunuh orang kafir yang berada dalam lindungan kaum muslimin. Sehingga tujuannya semata-mata hanya terhadap kaum kuffar yang memiliki andil di dalam menghalangi agama Allah untuk sampai kepada umat manusia atau mengumumkan peperangan terhadap kaum muslimin.
Berperang di jalan Allah tetap mengedepankan etika, sebab tujuannya sangat mulia. Tujuan utama dari jihad, tidak lain demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Jihad bukan sekadar membunuh dan dibunuh, sebagaimana yang diperlihatkan oleh para pelaku terorisme, yang membunuh siapa saja, baik muslim ataupun non muslim.
Allah Azza wajalla berfirman: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah saja. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim”. [QS. Al-Baqarah:193]
Olehnya itu, orang yang berjihad memiliki banyak kemuliaan yang didapatkan sebagai balasan atas amalannya. Balasan tertingginya, masuk surga yang paling tinggi tingkatannya. Orang yang mati syahid juga mendapat beberapa mempunyai 6 keutamaan: diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, dapat melihat tempatnya di Surga, akan dilindungi dari adzab kubur, diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya.
Demikianlah keutamaan dan keistimewan jihad dan orang berjihad di jalan Allah. Tentu saja, jihad yang sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan yang dicontohkan Rasulullah. Bukan aksi terorisme, yang pelakunya diklaim sebagai jihad. Hakekat tentang jihad inilah yang perlu didakwahkan, agar umat tidak salah memaknai jihad, yang akhirnya melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hakekat dan tujuan jihad.
Jadi, berbagai upaya yang ingin mereduksi, hingga menghilangkan makna jihad dari ajaran Islam, tidak benar, dan tidak bijak. Justru, pemahaman yang salah memaknai jihad perlu diluruskan dan diarahkan. Agar umat, terutama generasi muda, tidak salah memaknai jihad. Sehingga, melakukan upaya yang dipahami sebagai jihad, malah melenceng dari hakekat jihad. Akhirnya, mereka melakukan berbagai kerusakan, yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri, keluarganya, umat. Namun, juga menodai ajaran yang suci ini. Wallahu a’lam

 

Senin, 20 September 2010

Pemilukada Pemalang: Ulama dan Pengasuh Pesantren Netral

 Ilmanudin, SH. Ditemui disela-sela rapat kordinasi pembentukan Formatur Forum Ulama Se-Kabupaten Pemalang, 13/09 lalu menyampaikan, agar Kyai dan Pengasuh Pondok Pesantren hendaknya mengambil langkah netral dalam Pemilukada Oktober Mendatang.Para Kyai dan pengasuh Pondok Pesantren hendaknya lebih focus kedalam pesantren karena banyak PR yang harus dikerjakan. Ilmanudin menambahkan, Harus disadari bahwa fenomena sosial politik praktis yang erat dengan persaingan kekuasaan birokrasi, tidak menguntungkan. Terlalu banyak variabel pengaruh (intervening variable), kepenting-an politik Political Interest yang tentunya akan mengaburkan garis perjuangan ulama.

Pengalaman demi pengalaman yang relatif ”pahit” mestinya bisa dijadikan teman baik para kyai untuk dapat megambil sikap bijak tetapi strategis bagi kepentingan pesantren dan umat secara lebih menyeluruh.
Kyai dan pengasuh pesantren harus membuat ruang sendiri, dimana posisi kyai dapat diangkat tinggi-tinggi dihadapan umat dan pemerintah. Jangan sampai kyai di anggap ada dan dibutuhkan hanya pada saat ada pagelaran Pemilukada dan selebihnya tidak diperlukan lagi.
Memang ada sebagian kyai yang memiliki pendapat berbeda, mereka memilih jalur politik sebagai kendaraan untuk ngopeni pesantrenya. Tetapi perlu diingat bahwa, dalam 246 pemilukada se-Indonesia yang sebagian telah dilaksanakan ternyata keterlibatan para kyai secara langsung hanya merugikan pesantren. Lihat saja baru-baru ini pemilukada di Tasikmalaya, kyai dan para ulama cenderung mendukung salah satu calon, yang pada akhirnya sebagian masyarakat yang tidak sepaham dengan calon bupati dan wakil bupati pilihan kyai merasa ditinggalkan. Parahnya lagi, ketika calon bupati yang didukung ternyata tidak diterima oleh masyarakat karena trackrecord yang jelek.
Jauh sejak era reformasi 1998 dulu, euforia dan demokratisasi politik begitu menjamur dan menjadikan politik praktis sebagai panglima. Kenyataan ini membidani lahirnya multi partai politik, baik yang berbasis organisasi kemasyarakatan, agama, budaya, ataupun profesi. Persaingan parpol untuk meraih jabatan dan kekuasaan birokrasi menjadi indikator proses demokratisasi yang baik, tetapi juga sekaligus memadamkan kelembagaan tradisional yang secara organisasi memposisikan diri  diluar domain politik kekuasaan, sebut saja misalnya, pesantren.

Kondisi ini, menenggelamkan wibawa Kyai  dalam pandangan orang awam sekalipun. Parahnya lagi, masyarakat cenderung mengeneralisir bahwa, semua politikus itu busuk dan hanya mengedepankan kepentingan pribadi. Siapapun mereka, se-idealis apapun mereka, bagi masyarakat sesuatu yang sudah terlanjur hitam akan sulit mengembalikan menjadi putih. Pada akhirnya nanti umat merasa ditinggalkan dan kehilangan  keteladanan social yang selama ini di                           jadikan referensi prilaku.

Wawan H. Purwanto dalam bukunya, NU Menembus batas negara dan peradaban memberikan alasan yang sebenarnya menjadi rambu-rambu bagi keterlibatan Ulama di kancah politik:

Pertama : Keterlibatan ulama dalam perubahan politik dan ekonomi menjadi urgen untuk mentransendensikan hal-hal yang bersifat praktis, sehingga proses perubahan memiliki dimensi etis dan spiritual yang dapat mendorong pelaku politik bertanggung jawab terhadap masyarakat dan Tuhanya.

Kedua: diantara tugas keulamaan yang mendasar adalah menjadikan agama sebagai pijakan dalam transformasi social dan perekat bagi kohesi social dimasyarakat yang majemuk (plural)
Ketiga: Dakwah ulama dimasyarakat adalah dakwah kebudayaan, dalam pengertian selalu menggunakan pendekatan budaya dalam menyampaikan ajaran islam

Ilmanudin menambahkan, Memang, Fenomena ini ada sisi baiknya, adanya peningkatan demokratisasi  di kalangan Pesantren yang selama ini kental dengan ikatan tradisionalnya. Sekaligus menjadi indikasi akan adanya kelonggaran ikatan antara para santri dan para kiainya, dan memberikan pembelajaran politik yang relatif menuju ke arah kemandirian, dan tidak lagi terikat secara kultural ataupun primordial, tetapi lebih pada rasionalitas.