pada saat seminar pesantren di pemalang |
Ulama adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka, membangun masyarakat yang berketaatan dan berketatanan seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu menjadi sangat penting. Saat ini, Umat Islam sedang menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi telah menggoyahkan moralitas, serta budaya global. Pendewaan kebendaan dan nafsu melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta mengesampingkan peran agama dalam kehidupan umat.
Selain itu kemajuan dan keberagaman mind set umat Islam, organisasi sosial keagamaan didalamnya dan aliran serta aspirasi politik cenderung melemahkan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan. Akibatnya umat Islam terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu, kehadiran Ulama yang tetap konsisten memegang amanah nabawiyah, makin dirasakan kebutuhannya, baik sebagai pribadi maupun keterlibatan ulama secara langsung dalam sosio-politik umat.
Keterlibatan ulama dalam sebuah proses politik bukan merupakan pendangkalan keagamaan, apalagi menyalahi ketentuan syariat yang pada dasarnya bermuara kepada tujuan umum yaitu memberikan kebahagiaan umat secara individu ataupun berjamaah, memelihara aturan, serta mengisi alam ini dengan sarana sehingga sampai pada tingkat kesempurnaan hidup, kesejahteraan, dan kebudayaan yang maju (Tujuan syariat Islam, Prof. DR. wahbah Azzuhaili). Dengan terlibatnya ulama, fungsi social sosok ulama akan lebih dapat ter-ejawantahkan dalam masyarakat untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat dalam menyandingkan kehidupan beragama dan politik.
Dalam dimensi ini, ulama dapat menterjemahkan tafsir agama, kultur sekaligus sosio-politik berupa nasihat dan fatwa agama dan kemasyarakatan bagi semua pelaku politik, untuk terwujudnya ukhwah Islamiyah dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, ulama pada saatnya nanti menjadi penyambung kepentingan masyarakat dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah.
Perlu diingat sepuluh tahun terkhir dunia (Islam),Khususnya Indonesia, terus diguncang berbagai tindakan terorisme, anarkisme dan radikalisme beragama. Kenyataan ini jelas bukan sesuatu yang lumrah tetapi dapat menghancurkan citra Islam.
Radikalisme dalam beragama merupakan penyakit yang sangat besar eksesnya. Radikalisme saat ini tidak asing dan cenderung banyak dilakukan. Sementara sebagian ulama lebih memilih berdebat persoalan furuiyyah dengan golongan lain hanya karena faktor Afdoliyah (keutamaan) dalam soal ubudiyah.lihat saja baru-baru ini bentrokan yang terjadi akibat penyerangan masyarakat anti Ahmadiyah di Kuningan.
Setidakknya itu menjadi contoh kecil munculnya radikalisme yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pengertian seseorang terhadap Islam dan penyalahgunaan Islam untuk perorangan. Kedua, Islam digunakan sebagai pembenaran tanpa mengakui eksistensi agama yang lain(Hasyim Muzadi). Kelompok radikal mengklaim (truth claim) agama dan kelompoknya yang paling benar.
Sementara gejala lain radikalisme agama yang berkembang di masyarakat ditandai oleh beberapa hal. Pertama, adalah kecenderungan untuk menafsirkan teks secara leterlek dengan mengabaikan konteks. Kedua, adanya orientasi pada penegakan syariah, atau syariah minded. Dan ketiga, adalah adanya kecenderungan anti pluralisme. Kecenderungan seperti ini menampakkan adanya pengaruh gerakan salafisme dari Timur Tengah.