M. Fathuddin, S.Hi., Lc. |
Oleh: M. Fathudin, S.Hi., Lc.
Bergulirnya reformasi dengan jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998, membuat BJ. Habibie yang saat itu menerima tampuk kekuasaan Soeharto menganut sautu konsep liberalisasi politik. Adanya kebijakan tersebut sontak disambut secara positif penuh euphoria oleh kalangan atau kelompok yang sepanjang rezim orde baru merasa dibungkam hak politiknya. Kebebasan poltik yang pada masa Soeharto di kebiri membuat beberapa kelompok tertentu mengambil moment reformasi untuk ikut tampil di kancah publik. Maklum saja pada masa orde baru Soeharto menerapkan strategi politisasi golkar terhadap hampir semua elemen masyarakat, dan upaya mendepolitisasi terhadap sejumlah kelompok oposisi pemerintah. Suasana seperti ini ternyata menjadi bom waktu, pasalnya beberapa gerakan islamis yang saat itu mengehendaki berdirinya negara islam, atau paling tidak menghendaki pemberlakuan syariat Islam, nyaris tidak ditolelir bahkan diberangus oleh Soeharto. Sehingga yang muncul adalah gerakan bawah tanah yang sejatinya digunakan untuk mempersiapkan diri menunggu moment yang menguntungkan.
Liberalisasi politik pada masa BJ. Habibie membuka kran demokrasi yang selama orde baru tertutup. Lebih-lebih dengan pencabutan undang-undang keormasan tahun 1985 yang dalam salah satu klausulnya mewajibkan ideologi tunggal pancasila. Semua orang dapat mengklaim dirinya berhak untuk berserikat dan berkumpul, maka serentak muncul beragam garakan islamis dengan berbagai variannya, islam politik melakukan mobilisasi baik secara institusional melalui jalur sistem partai politik, maupun LSM dan Ormas. Gerakan islamis radikal yang pada masa orde baru hanya bisa mengorbit di bawah tanah, saat reformasi muncul bermekaran. Sebagai contoh kita bisa melihat pada tahun 1999, partai peserta pemilu sampai 48 partai dengan 18 partai yang yang punyai orientasi islamis dan merupakan derivasi dari Masyumi dan Nahdlatul Ulama, seperti PAN, PBB, PSII, PPIIM, PKB, SUNI, PKU, PNU, PPP dan Partai Keadilan. PKB dan PAN merupakan partai muslim yang sebenarnya masih pancasilais. PKB Gusdur secara historis dan kultural memang terkait dengan Nahdlatul Ulama dengan basis dukungan berpusat pada komunitas NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sementara PAN basis dukungannya berasal dari anggota-anggota urban Muhamadiyah.
Pada tahun pemilu 2004 jumlah partai islam mengerucut menjadi PKB, PAN, PPP, PBB dan PKS. Perlu dicatat bahwa tidak semua partai islam pada era reformasi masih memperjuangkan negara islam di Indonesia. Perjuangan mereka lebih kepada upaya melakukan syariatisasi melalui jalur parlemen, yakni dengan mendukung legislasi spesifik dan memasukan provisi-provisi agama kedalam legislasi. Upaya ini dilakukan juga lebih kepada mempertahankan basis suara dan mengakomodir agenda-agenda politik kaum islamis yang berada diluar sistem politik. PK misalnya, merupakan partai yang gagal dalam mendulang suara di pemilu 1999 karena agenda mendirikan negara islam yang diusung ternyata sudah tidak menjual, sehingga pada pemilu berikutnya berubah menjadi PKS dengan kampanyenya yang lebih berbasis isu, seperti isu kesejahteraan, pekerjaan dan kemiskinan daripada agenda pemberlakuan syariat Islam.
Kendati di era reformasi sudah tidak muncul lagi gerkan seperti DII/TII Kartosuwiryo yang menghendaki berdirinya negara islam di indonesia, namun mobilisasi Islam politik ternyata memberikan warna dan perubahan wajah Indonesia secara signifikan. Indikasi ini bisa kita katakan bahwa perjuangan Islam politik di Indonesia cukup berhasil, terbukti dengan banyaknya produk kebijakan atau legislasi yang meskipun secara eksplisit terlihat bukan pemberlakuan syariat Islam, namun secara substansi masih mencerminkan cita-cita pemberlakuan syariat islam di Indonesia. Beberapa keberhasilan tersebut tertuang dalam berbagai bentuk kebijakan baik yang berupa undang-undang maupun peraturan daerah. Misalnya RUU No. 20 Tahun 2003 dimana partai-partai islamis dan sekutunya mendapatkan kemenangan dalam upaya memasukan klausul pasal 13 (1) yang saat itu kontroversial, yakni mentepakan bahwa semua murid berhak mendapatkan pengajaran agama yang diajarkan guru-guru penganut agama mereka. Karena sekolah-sekolah negeri sudah menyediakan agama, maka ketetapan ini ditujukan pada kepada sekolah-sekolah swasta, yang punya lebih banyak kebebasan dalam menawarkan pendidikan agama. Dengan lolosnya klausul pasal 13 (1) RUU tersebut, maka sekolah-sekolah swasta akan wajib menyediakan pendidikan agama bagi murid yang agamnya berbeda dari mandat sekolah. Klasul ini memeicu kontroversi antara kelompok-kelompok muslim yang memandang bahwa klausul tersebut merupakan upaya pencegahan pemurtadan, dengan kelompok-kelompok Kristen, yang tidak mau menanggung beban besar yang ditimpakan kepada mereka dalam menerapkan peraturan untuk mengakomodasi ribuan muslim yang belajar disekolah-sekolah Kristen. Keberhasilan memenangkan lolosnya RUU No. 20 Tahun 2003 khusunya pasal 13 (1) merupakan buah aliansi lintas ideologi partai-partai Islamis dengan partai-partai nasionalis. PK, PPP, dan PBB membentuk aliansi dengan PAN dan Golkar, kemudian disusul PKB.
Partai-partai Islam selalu memanfaatkan aliansi dalam perjuangannya, kendati juga tidak selalu menang. Penting dicatat bahwa mereka berhasil melolosakan produk legislasi yang terinspirasi syariat secara nasional jika memang mereka mampu bersikap moderat untuk menarik partai-partai insklusif seperti PKB, PAN, Golkar, PDIP, dan Demokrat. Pada tahuan 2006 partai Islamis pernah gagal dalam meloloskan RUU Anti Pornografi, karena memang mereka tidak mampu merangkul dan meyakinkan PKB, PDI-P dan Golkar untuk mendukung RUU tersebut. Namun RUU tersebut akhirnya berhasil digolkan pada tahun 2008 dengan jatuhnya dukungan Golkar pada saat itu, meskipun Golkar barusaha mengilapkan kredensial Islamnya sendiri pada pemilu legislatif 2009. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga telah berhasil diloloskan oleh perjuangan partai-partai Islam di parlemen.
Upaya syari’atisasi sebenarnya tidak dengan sendirinya dimulai oleh partai-partai politik, tapi justru dari koalisi-koalisi organisasi islamis seperti Hizbut Tahrir, Persis, Gerakan Tarbiyah, unsur-unsur Muhamdiyah dan sayap fundamentalis HMI MPO. Kelompok ini melakukan upaya presure terhadap DPRD I dan DPRD II untuk melakukan syariatisasi. Imbasnya adalah munculnya beragam perda-perda syariat yang secara materi berupaya memberlakukan syariat Islam. Beberapa Perda tersebut misalnya Intruksi Walikota Padang No. 451.422/Binsos-III/05 tantang kewajiban berpakaian islam lengkap bagi penduduk muslim, di Pasaman Barat ada program kembali ke Masjid dengan mewajibkan murid-murid disekolah-sekolah islam berpakaian islam lengkap, di Solok, Sumatra Barat mewajibkan bagi wanita dan pria untuk berpakian islam lengkap dan membaca al-qur’an, di Tangerang, Peraturan Kota Tangerang No. 8/2005 tentang penangkapan orang yang dicurigai sebagai pelacur, di Cianjur, Jawa Barat ada kesepakatan antara DPRD dan 36 Ormas (Muharram 2001) yang mewajibkan pegawai negeri daerah harus berpakaian islam lengkap pada hari jum’at dan belajar Islam satu jam setiap hari, demikian juga pegawai negri perempuam harus memakai jilbab dan tidak ada kegiatan ketiga adzan tiba, di Tasikmalaya muncul Surat Edaran Bupati No. 452/SE/Sos/2001 yang isinya bahwa bupati menganjurkan semua murid muslim wanita berpakaian Islam dan mengharuskan semua perempuan berjilbab, dan di berbagai kota lainnya seperti Pamekasan, Maros, Sulawesi Selatan, Gowa, dan Gorontalo.
Munculnya beragam produk kebijakan yang bernuansa syari’at tidak lain murapakan upaya mengatur ketertiban masyarakat dengan merujuk syari’at. Hal ini lebih disebabkan karena hukum negara yang dianggap telah gagal dalam membina moral masyarakat, sehingga mereka memberikan legitimasi penuh bahwa pemberlakuan syari’at adalah solusinya. Hukum memang merupakan social enginer, dengan hukum diharapkan ketertiban, kesantunan, moral dan perilaku masyarakat dapat diatur. Dalam konteks kajian hukum proses syari’atisasi tidak lain merupakan paradigma berpikir hukum yang psofitifistik, hukum dilihat dan dapat diterapkan secara efektif manakala sudah terangkum dalam sebuah produk kebijakan yakni undang-undang. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemberlakuan syariat dengan melalu taqnin menjamin lebih efektifnya bekerjanya hukum di masyarakat ?