Ilmanudin, SH. Ditemui disela-sela rapat kordinasi pembentukan Formatur Forum Ulama Se-Kabupaten Pemalang, 13/09 lalu menyampaikan, agar Kyai dan Pengasuh Pondok Pesantren hendaknya mengambil langkah netral dalam Pemilukada Oktober Mendatang.Para Kyai dan pengasuh Pondok Pesantren hendaknya lebih focus kedalam pesantren karena banyak PR yang harus dikerjakan. Ilmanudin menambahkan, Harus disadari bahwa fenomena sosial politik praktis yang erat dengan persaingan kekuasaan birokrasi, tidak menguntungkan. Terlalu banyak variabel pengaruh (intervening variable), kepenting-an politik Political Interest yang tentunya akan mengaburkan garis perjuangan ulama.
Pengalaman demi pengalaman yang relatif ”pahit” mestinya bisa dijadikan teman baik para kyai untuk dapat megambil sikap bijak tetapi strategis bagi kepentingan pesantren dan umat secara lebih menyeluruh.
Kyai dan pengasuh pesantren harus membuat ruang sendiri, dimana posisi kyai dapat diangkat tinggi-tinggi dihadapan umat dan pemerintah. Jangan sampai kyai di anggap ada dan dibutuhkan hanya pada saat ada pagelaran Pemilukada dan selebihnya tidak diperlukan lagi.
Memang ada sebagian kyai yang memiliki pendapat berbeda, mereka memilih jalur politik sebagai kendaraan untuk ngopeni pesantrenya. Tetapi perlu diingat bahwa, dalam 246 pemilukada se-Indonesia yang sebagian telah dilaksanakan ternyata keterlibatan para kyai secara langsung hanya merugikan pesantren. Lihat saja baru-baru ini pemilukada di Tasikmalaya, kyai dan para ulama cenderung mendukung salah satu calon, yang pada akhirnya sebagian masyarakat yang tidak sepaham dengan calon bupati dan wakil bupati pilihan kyai merasa ditinggalkan. Parahnya lagi, ketika calon bupati yang didukung ternyata tidak diterima oleh masyarakat karena trackrecord yang jelek.
Jauh sejak era reformasi 1998 dulu, euforia dan demokratisasi politik begitu menjamur dan menjadikan politik praktis sebagai panglima. Kenyataan ini membidani lahirnya multi partai politik, baik yang berbasis organisasi kemasyarakatan, agama, budaya, ataupun profesi. Persaingan parpol untuk meraih jabatan dan kekuasaan birokrasi menjadi indikator proses demokratisasi yang baik, tetapi juga sekaligus memadamkan kelembagaan tradisional yang secara organisasi memposisikan diri diluar domain politik kekuasaan, sebut saja misalnya, pesantren.
Kondisi ini, menenggelamkan wibawa Kyai dalam pandangan orang awam sekalipun. Parahnya lagi, masyarakat cenderung mengeneralisir bahwa, semua politikus itu busuk dan hanya mengedepankan kepentingan pribadi. Siapapun mereka, se-idealis apapun mereka, bagi masyarakat sesuatu yang sudah terlanjur hitam akan sulit mengembalikan menjadi putih. Pada akhirnya nanti umat merasa ditinggalkan dan kehilangan keteladanan social yang selama ini di jadikan referensi prilaku.
Wawan H. Purwanto dalam bukunya, NU Menembus batas negara dan peradaban memberikan alasan yang sebenarnya menjadi rambu-rambu bagi keterlibatan Ulama di kancah politik:
Pertama : Keterlibatan ulama dalam perubahan politik dan ekonomi menjadi urgen untuk mentransendensikan hal-hal yang bersifat praktis, sehingga proses perubahan memiliki dimensi etis dan spiritual yang dapat mendorong pelaku politik bertanggung jawab terhadap masyarakat dan Tuhanya.
Kedua: diantara tugas keulamaan yang mendasar adalah menjadikan agama sebagai pijakan dalam transformasi social dan perekat bagi kohesi social dimasyarakat yang majemuk (plural)
Ketiga: Dakwah ulama dimasyarakat adalah dakwah kebudayaan, dalam pengertian selalu menggunakan pendekatan budaya dalam menyampaikan ajaran islam
Ilmanudin menambahkan, Memang, Fenomena ini ada sisi baiknya, adanya peningkatan demokratisasi di kalangan Pesantren yang selama ini kental dengan ikatan tradisionalnya. Sekaligus menjadi indikasi akan adanya kelonggaran ikatan antara para santri dan para kiainya, dan memberikan pembelajaran politik yang relatif menuju ke arah kemandirian, dan tidak lagi terikat secara kultural ataupun primordial, tetapi lebih pada rasionalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar