Ditulis Admin LiSHAM
PEMALANG, Senin, 24 Januari 2011, merupakan moment terpenting bagi pasangan H.Junaedi, SH,MM dan Mukti Agung Wibowo, ST. Pasangan ini resmi dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Pemalang periode 2011 – 2016, tepat pada hari ulang tahun Kabupaten Pemalang ke-436.
Ada beberapa hal yang aneh dan tidak biasa dalam pelantikan kemarin, pertama adalah terkait dengan komposisi tamu undangan yang jelas berbeda dengan model pelantikan bupati tahun sebelumnya. Terutama adalah pada posisi keluarga dan sukarelawan terlantik yang diposisikan didepan dibandingkan tamu undangan yang lain.
Ada pergeseran nilai yang luar biasa, jika memang komposisi ini mengandung unsur kesengajaan dari protokoler bupati maupun atas permintaan bupati terpilih. Jelas, perubahan ini akan memberikan persepsi bahwa, bupati terpilih telah menganak emaskan orang-orang dilingkungan mereka sendiri dan melupakan ketokohan masyarakat yang hadir pada waktu itu.
Kedua; keberadaan pengawal khusus pasangan terlantik yang terkesan angker, memberi kesan bahwa institusi pengamanan terkesan tidak mampu memberikan perlindungan keamanan kepada terlantik. Fakta ini membidani lahirnya persepsi bahwa aparat keamanan dalam hal ini institusi kepolisian berada dibaris kedua dalam pengamanan.
Dengan ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Bupati dan Wakil Bupati terlantik tekait dengan status jabatan yang dibebankan kepada mereka, pertama, bahwa jabatan merupakan sebuah profesi /pekerjaan, kedua, jabatan Bupati dan wakil Bupati harus diposisikan sebagai sebuah amanah rakyat dan ditempatkan pada posisi tertinggi semata untuk mengabdi kepada rakyat, dan ketiga jabatan sebagai bagian dari kepemimpinan /khalifatul fil ardh.
Pertama, bila dimaknai sebagai bagian dari profesi/pekerjaan maka segala sesuatu yang dikerjakan harus diperhitungkan secara matematis dan ekonomis : mulai saat penjaringan calon, sosialisasi pencalonan, proses pencalonan, saat kampanye dan saat menjabat. Orientasi ini cenderung bahwa apa yang sudah dikeluarkan secara ekonomis harus dapat kembali dan berlipat ganda.Biaya politik yang sudah dikeluarkan harus impas bila perlu menghasilkan modal untuk mengamankan jabatan, mempertahankan jabatan dan meraihkan kembali jabatan untuk masa kepemimpinan berikutnya.
Hitungan dan analisa ini tentunya akan berbiaya mahal dan penuh resiko karena dewasa ini kepemimpinan cenderung dimanfaatkan untuk pemuasaan hak pribadi ,yang ironisnya menempuh jalan “menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan meraih sesuatu yang diinginkan”. Mengutamakan kepentingan pribadi, golongan dan keluarga diatas kepentingan orang banyak, melupakan “amanah kepemimpinan” yang diamanahkan atas dirinya, melanggar hak-hak konstitusional yang sudah disepakati bersama, juga kolusi untuk kepentingan sendiri dan keluarganya.
Kedua, jabatan adalah amanah. Pertanyaannya amanah dari mana. Amanah bisa dari rakyat pemilihnya, bisa dari partai politik yang telah mengusungnya, atau merupakan amanah dari Allah penguasa alam. Bila salah dalam memaknai dan cara menjalankannya maka jabatan sebagai amanah akan menjadi bumerang dan beban yang sangat berat.
Bupati dan wakil Bupati terpilih perlu berhati-hati dalam menjalankan amanah ini, karena banyak sekali orang yang mengaku telah bersama-sama berjuang dan menjadi ujung tombok yang akan menyuarakan aspirasi dan tuntutan secara ekonomis dalam bentuk imbalan jabatan untuk karier dan imbalan proyek yang mendatangkan keuntungan ekonomis.
Ketiga, jabatan sebagai bagian amanah untuk kepemimpinan di bumi Allah. Artinya orang-orang yang telah diberi amanah kepemimpinan di bumi Allah ini perlu melakukan hal-hal terbaik sesuai keinginan pemberi amanah yaitu Allah .Semoga ini menjadi refleksi bagi kita semua untuk menciptakan pemalang yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar