Admin LiSHAM, Oktober 2010.
Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung tampaknya tidak berhasil mewujudkan cita-cita demokrasi sepenuhnya, bahkan cita-cita otonomi daerah yang digadang-gadang dapat menjadi solusi dari ketimpangan pusat dan daerah. Lihat saja rangkaian Pemilukada yang sebagian telah berlangsung di berbagai daerah kota/kabupaten maupun provinsi yang cenderung minim partisipasi dan berpotensi konflik.
Di Pemilukada Pemalang sendiri yang dilaksanakan tanggal, 31 Oktober 2010 lalu, hanya 56 persen masyarakat yang menggunakan hak suaranya dari jumlah DPT 1.049. 961 atau sekitar 567.935 pemilih. Artinya, hampir dari separuh jumlah masyarakat yang terdaftar sebagai pemilih tetap tidak menggunakan hak pilihnya. Hal ini berarti pula lebih dari separuh penduduk Pemalang tidak ikut serta dalam menentukan nasib Pemalang kedepan. Padahal agenda ke depan Pemalang tidak bisa lepas dari upaya penguatan, partisipasi dan kemandirian Masyarakat, bahkan semua pihak yang berkepentingan terhadap Pemalang.
Pemilukada memang banyak memberikan sumbangan dalam mempola dan membentuk penyadaran berdemokrasi. Bahkan Pemilukada mengarahkan masyarakat dalam menunjukan entitasnya sebagai masyarakat yang memiliki keadaban dan kearifan lokal. Sinergi dengan itu, aktualisasi dan civic education sebenarnya terletak pada tingkat partipasi politik rakyat di setiap agenda politik seperti pemilukada tersebut. Partisipasi politik yang lemah, berakibat pada tejadinya kesenjangan politik antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan lokal, di mana aktor pelaksana kekuasaan lokal (baik unsur birokrasi maupun legislatif) sering melakukan langkah pengambilan dan pelaksanaan kebijakan politik yang tidak selaras dengan aspirasi kolektif masyarakat.
Lembaga kekuasaan politik lokal (Partai, DPRD/Legeslatif dan Pemerintahan hasil Pemilu), acapkali setengah-setengah menjalankan fungsi politik dan kurang optimal dalam menjalankan peran sebagai pelayan aspirasi wong cilik. Miminmnya balasbudi politik inilah yang menjadi salah satu unsur yang melemahkan partisipasi masyarakat pada setiap pagelaran pemilukada.
Diantara negara-negara penganut paham demokrasi, Indonesia bisa jadi menempati urutan pertama yang paling sering menggelar Pemilu. Mulai dari Pilkades, Pilkada kabupaten kota/provinsi, Pilpres, dan Pileg. Seiring dengan OTDA yang kemudian menstimulasi lahirnya struktur pemerintahan baru, Pemilukada seakan menjadi acara ritual demokrasi sepanjang tahun bahkan sepanjang bulan. Lihat saja, pemilukada yang dilaksanakan pada tahun 2010, yang mencapai 246 kali pemilukada diseluruh Indonesia.
Jika kita tilik dari segi pembiayaan, proses Pemilukada telah menyedot anggaran yang sangat besar. Sebagai contoh mungkin rangkaian Pemilukada di Jawa tengah yang dilaksanakan di 17 daerah, rata-rata anggaran yang dibutuhkan Kisaran 15 Milyard untuk Kabupaten/Kota dan untuk tingkat Propinsi 500 Milyard (Suara Merdeka). Jika direkap, dari semua anggaran yang dikeluarkan dalam Pemilukada tersebut mencapai 1 trilliun lebih, anggaran yang sangat besar.
Ternyata Pemilu memerlukan harga yang sangat mahal, jika saja anggaran tersebut dijumlahkan untuk seluruh propinsi di Indonesia maka akan mencapai angka fantastis lebih dari 34 trilliun. Sementara, disisi lain potensi konflik didaerah akibat adanya gesekan-gesekan antar pendukung tidak terelakkan. Jika ini terus terjadi, maka akan menggangu kinerja pemerintah dan stabilitas keamanan nasional.
Pemilukada tentu lahir sebagai pengejawantahan demokrasi. Maka, mestinya demokrasi harus didasari dengan niatan baik yang kemudian dijalankan berdasarkan proses-proses dan nilai-nilai yang akan menghasilkan sesuatu yang bernilai positif. Demokrasi bukan hanya berbicara hasil, tapi juga proses. Jika kemudian dalam proses demokrasi mencedrai kepentingan dan hak masyarakat maka hasil demokrasi tidak dapat dikatakan sebagai demokrasi. Karena berbeda adalah hal yang biasa, silang pendapat adalah sebuah kewajaran, tetapi jika kemudian kebersamaan terjual maka harus ada yang tergadaikan, yaitu makna demokrasi itu sendiri.
Tidak dipungkiri, demokrasi tentu mengimplikasikan adanya perbedaan pendapat dan sikap (Kullu Ro’sun Ro’ yun) bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Baik antar pemilih, maupun antara pemilih dan yang dipilih. Perbedaan itu tentunya merupakan hal yang sah-sah saja, lumrah, fitrah, bahkan dibenarkan dalam teori demokrasi. Sebab, demokrasi sejatinya memberikan ruang yang luas bagi setiap individu dalam mengekspresikan pendapat dan sikap atas keputusan bersama yang akan diambil.
Ketika telah lahir kepuasan bersama yang didukung suara mayoritas dan diasumsikan sebagai keputusan terbaik, maka menjadi kewajiban bagi setiap individu yang berbeda pendapat dan sikap itu untuk menghargai dan mendukung keputusan tersebut. Persoalanya adalah, ketika proses demokrasi hanya berorientasi pada ‘kursi kekuasaan’. Demokrasi akan dimaknai lain dan cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diharapkan. Demokrasi hanya akan menjadi kambing hitam dari persoalan pemilukada yang tidak lazim, dan menjadi pembenaran atas tindakan yang keliru. Jika ini terjadi, akan menyisakan jejak perbedaan antar individu yang berujung pada ketersinggungan sosial, perselisihan sosial, atau kerusuhan sosial. Bahkan dalam lingkup lebih mikro, perbedaan itu kerap membuat sesama anggota keluarga, sesama anggota keluarga saling menjelekkan, saling fitnah, bahkan saling bermusuhan.
Jadi mau kemana cita-cita otonomi daerah mau dibawa, dan apakah Pemilukada model seperti ini harus dipertahankan ataukah kita perlu meriview kembali system demokrasi ala orde baru yang benci tapi kita rindu, dan mengembalikan anggaran Pemilukada yang besar itu kepada kesejahteraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar